Ku berjalan mengikuti pelataran sekolah dengan hati yang gundah, perasaan yang sangat tidak karuan, dengan beban dipikiran yang amatlah berat, nafas yang terasa mendesak, jiwa yang bukan itu aku. Aku kian berjalan, berjalan dan berjalan meskipun bersama-sama tapi ku merasa sendiri. Teman-temanku senantiasa tertawa, mengomentari tiap apa saja yang nampak, tapi aku hanya diam, bagaimana caranya untukku bisa bergabung dalam suasana hati teman-temanku yang riang? Sementara aku?
Ya. . . inilah aku. Cewek berusia 17 tahun yang serasa telah berumur 38 tahun memikirkan kondisi keluarga, kondisi ekonomi, dan kondisi apa saja yang tidak jauh dari uang. Aku telah berusaha semampuku untuk melupakan hal seberat ini, mencoba tertawa, dan menjadi diriku yang biasanya. Karena biasanya aku adalah sosok yang dapat membuat orang tertawa, membuat orang sakit perut jika ku mencoba menjadi seorang yang humoris. Tapi kini? Semuanya terasa semu, 2 minggu belakangan ini, masalah-masalah itu begitu kejam merasuk sukmaku, ekonomi keluargaku sangat terusik, biaya sekolah aku dan adikku, biaya kuliah kakak, biaya kehidupan kami sehari-hari. Yang tentu saja masalah seperti ini jarang bahkan tidak pernah dirasakan teman-teman atau sahabat-sahabatku yang lain.
Hari ini hari senin, biasanya aku bahagia bisa menatap cerahnya matahari, senang merasakan embun pagi yang dingin menyentuh pelupuk mataku, ceria mendengar suara burung-burung, tapi kali ini, aku hanya ingin memikirkan jalan keluar dari semua masalahku. Semenjak hari raya Idul Adha lampau, tante Vivi tidak lagi menitipkan kuenya padaku lagi untuk dijual di sekolah, dan hal ini jelas membuatku merasa kehilangan meski aku hanya mendapatkan 2000-5000 rupiah tiap hari dari tante Vivi sebagai upah, tapi itu cukup bagiku.
Lalu apa lagi yang bisa kuharapkan? Tiada yang mau melonggarkan pekerjaannya buatku, lalu memberiku sedikit dari jerih payahku. Untuk menerima jahitan orang lain? Hal yang sangat tidak mungkin, mesin jahit ibu telah ditarik oleh beberapa orang yang jarang kulihat, apa itu sebabnya? Aku kurang mengerti, dan ibupun enggan untuk memberitahuku. Selanjutnya apalagi yang bisa kuharapkan dari diriku sendiri, kemampuan apa yang bisa dimiliki dan dipunyai seorang gadis SMA selain tenaga? Meskiku mempunyai sedikit ilmu untukku beritahu, tapi pada siapa?
“
semua menjawab “Tidak”.
“Bagaimana jika ku tanyai dulu pada tetangga-tetanggaku… mana tau ada, emangnya pekerjaan ini buat siapa?”
Aku ingin menjawab itu aku, tapi aku segan untuk mengungkapkannya,
“Bukan untuk siapa-siapa? Tapi buat seseorang yang membutuhkannya, hehe!” ucapan itulah yang sering ku lontarkan, walau berbohong.
Aku sudah begitu putus asa, aku ingin mengatakan hal ini pada sahabatku, tapi aku tidak sanggup juga menambah beban pikiran mereka. Livi kini punya banyak masalah dengan pacar dan nilai-nilainya, Aira kurasa kini dia terlalu focus pada pelajaran, tidak mungkin ku merasuki pikiran mereka dengan masalah-masalahku yang jauh lebih rumit dari masalah mereka sendiri. Dan jalan satu-satunya adalah diam dan mencari pekerjaan.
Mungkin pikiranku telah berlari-lari entah kemana? Menelusuri pohon, batang, pucuk, dan daunnya, serta akar-akarnya. Dua hari berlalu, ku kembali mencoba mencari lowongan kerja itu, tapi belum ada kepastian yang jelas atas semuanya. Uang sekolah yang sudah beberapa bulan tidak terpenuhi, ditambah dengan uang sekolah adikku yang sejak bulan Agustus belum juga dibayar. Mungin hanya aku yang memikirkan hal ini, dijiwa adikku hanya ada hura-hura, main-main, jalan-jalan, yang segalanya butuh uang, yang entah dari mana itu bisa didapatkan dengan kondisi seperti ini, sementara kak Ditha dia juga sama, meski umurnya 2 tahun diatasku, tapi kurasa dia mesti belajar lagi ke TK atau SD. Kenapa aku bisa berkata demikian? Karena aku kurang suka dengan sikapnya yang semena-mena terhadapku. Padahal dia tau posisinya, tapi dia kurang simpati, tidak pernah peduli. Meskipun ia juga bekerja sambil kuliah dan hasilnya juga lumayan, tapi semuanya digunakan kepada hal yang tidak penting, beli baju, sepatu, tas, layaknya orang kaya, dan kebutuhan kuliah masih saja diminta pada Bapak atau Ibu. Apa tidak ada dia memikirkan aku dan Mitha? Apa tidak ada keinginannya untuk membantuku memikirkan ini semua, yang ada jika ku ajak bicara dia selalu meremehkanku, dan mengajakku bertengkar,
“Pikir aja ndiri! Loe
Dan itulah segelintir dari ucapannya yang masih ku ingat, dan aku capek, frustasi, jika kuulangi sekali lagi untuk ribut dengannya. Sekarang ku ikhlas jika nafasku diambil hari ini biar lepas semuanya dari benak ini.
Tak terasa kini telah hari jum’at, malam ini aku bertanya pada Bapak,
“Pak, ujian semester 1 sebentar lagi, sementara uang sekolah dan uang komite aku dan Mitha belum juga dipenuhi, Bagaimana ini Pak?
“Maaf nak, saat ini Bapak belum punya uang, bagaimana jika kamu mau sabar menunggu, pekerjaan apapun akan Bapak lakukan buat kamu dan adikmu, sabar dulu ya nak! Saat ini Bapakmu belum punya uang, upah sawah dari Pak Andari kemarin telah Bapak berikan untuk kakakmu membeli keperluannya, yang tersisa kini hanya untuk belanja Ibumu besok, sabar dulu ya nak!” jawab Bapak.
Mendengar jawaban Bapak, air mataku telah mengucur deras di pipi, aku tidak sanggup mendengar Bapak berkata iba seperti itu, ucapan Bapak begitu haru. Yang kusesali Kak Ditha telah mendahuluiku meminta uang pada Bapak demi kebutuhannya yang tidak pernah ada.
Keesokan harinya adalah hari sabtu. Aku
“Dila, tolong gua!” pintaku
“Kenapa Vi?” jawab Dila
“Tolong gua La!” pintaku lagi
“Woi tolong Ovi! Tolong Ovi!” teriak Dila memanggilkan teman-teman
“Ovi. . .Ovi. . .kenapa Vi?” begitu suara teman-teman sekelasku
“Gua nggak sanggup, gua bener-bener nggak sanggup, tolong gua!’ sekali lagi aku meminta
Saat itu kakiku benar-benar tidak mau dilangkahkan, tapi teman-teman membopongku bersama-sama ke UKS. Aku benar-benar ingin berteriak, badanku lemas sekali, mungkin saat ini akulah yang paling menderita sedunia. Aku ingin sekali melupakan semua masalahku misalkan dengan tuhan menunjukku sebagai seorang penderita amnesia saat itu juga karena keinginanku tak juga terpenuhi, dan apa yang kuharapkan tak terjadi sedikitpun.
“Ovi. . . loe tenang Vi!” kata teman-teman yang tak kuketahui siapa mereka
“Dingin. . . dingin. . . tolong gua!”
“Ya Vi, tapi loe tenang dulu Vi!”
“Gua kedinginan, Dingin. . . “ akhirnya ku berteriak sekeras mungkin, dan mungkin teman-teman terkejut dan merasa takut padaku. Tingkahku mungin seperti orang kerasukan setan, tapi apa dalam diriku sekarang tak bisa lagi ku tahan. Kembali ku ingat masalahku, dan air mataku harus keluar di depan teman-temanku.
Tak lama kemudian, Ibu Delvia datang menenangkanku, tak seperti teman-temanku yang dari tadi menenangkanku tapi aku malah makin gelisah, tapi kedatangan Ibu De begitu cepat menenangkanku, hanya beberapa saat aku kembali menangis, mungkin kantong air mataku telah begitu penuh dan sekarang saatnya dia melebur keluar.
“Ovi, sabar nak! Sekarang lepaskan semuanya, tenangkan diri kamu! Lepaskan semua beban yang ada, jangan ditahan, keluarkan semuanya!” ujar Bu De
Ucapan halus dari Ibu Delvia mampu menerawangku dan masalahku. Sementara teman-teman yang berada disampingku tak lagi ku dengar suaranya. Lalu akhirnya teman-teman pergi ke kelas karena bel masuk telah berbunyi, begitu juga Ibu De, beliau juga pergi meninggalkanku sendiri dengan tangisan di ujung dipan tempat ku bersandar kini. Namun, tidak beberapa saat kemudian Ibu Novi datang menawarkanku teh, tapi ku menolak, meskipun ku tolak, tapi Ibu Novi tidak meninggalkanku, malah beliau mau menemaniku dan mengetahui kegelisahanku, aku memang tidak mampu menyembunyikannya sendiri di hati kecilku ini, dan kemudian aku mengatakannya semua kepada beliau sampai usai.
“Kalau memang begitu Ovi, kamu lebih baik menenangkan pikiranmu, hal ini jangan terlalu memforsir waktu dan pikiranmu! Kamu masih muda, banyak hal lain yang harus kamu pikirkan selain masalah orang tua ini, biarlah ibu yang bertanggung jawab untuk uang sekolahmu semester ini, yang jelas tabah, sabar, ada jalan keluar di balik semua ini, ibu keluar dulu ya!” ujar Ibu Novi
“Alhamdulillah ya Allah, engkau menitipkan jalan keluar itu melalui Ibu Novi, terima kasih ya Allah!” syukurku dalam hati
Aku bahagia, satu masalah telah keluar dari anganku, dan Bapak tidak begitu berat memikirkan uang sekolahku, aku bersyukur sekali.
Tak lama setelah itu, seluruh isi kelasku datang menjengukku, tidak ku sangka mereka masih ingat padaku di saat rawan seperti ini. Mereka menghiburku, Aira, Livi, Nifa, Harry, Zodi, Keisya, semuanya datang menemaniku, aku bersyukur telah diberi kesempatan memiliki mereka, bercerita atas semuanya, mendengar konflik di hatiku. Yach. . . semua yang kupikirkan semula tidak terbukti apa-apa.
“Tu makanya, segala masalah itu jangan dipendam! Kita semua ada kok buat kamu Vi, kita semua
Sejak itu, aku memutuskan untuk terbuka pada teman-teman dan sahabat-sahabatku, memang tidak baik menyimpan masalah itu sendiri.
Sepulang sekolah, ku mendapati sms dari Dyan,
“Vi, besok loe dapet kerja di rumah tante gua, pekerjaanya nggak begitu sulit kok, nyucinya peke mesin cuci, langsung digosok, gajinya lumayan kok 100.000 per bulan kerja jum’at, sabtu, minggu.” Ujar Dyan melalui sms itu.
Wahh. . . ini berita luar biasa, aku begitu senang, terima kasih ya Allah, terima kasih Dyan, terima kasih Sparasbi. Berita ini langsung ku beritahu Aira yang ada di dekatku yang kutemani mencari tugas fisika di internet, dia juga senang, dan akhirnya dia mengajakku pergi naik motornya ke tempat-tempat yang indah, hijau, tidak pernah kunikmati sebelumnya. Mungkin maksudnya untuk melepaskan segala masalahnya, segala kepenatan hati di salah satu sisinya, tapi ini sekaligus melepaskan semua dari tiap masalahku melalui angin yang menyejukkanku.
Oleh: Ayu triana
Memang, kita tidak memungkiri bahwa ditengah kehidupan orang-orang jahiliyah terdapat hal-hal yang sangat hina, amoralitas dan masalah-masalah yang tidak bisa diterima akal sehat dan tidak disukai manusia tapi meskipun begitu, mereka masih memiliki akhlak-akhlak terpuji, mengundang kekaguman manusia dan simpati. Diantaranya akhlak-akhlak itu ialah :
1) Kedermawanan.
Mereka saling berlomba-lomba dan membanggakan diri dalam masalah kedermawanan dan kemurahan hati. Bahkan separoh dari syair-syair mereka bisa dipenuhi oleh puji-pujian dan sanjungan terhadap kedermawanan ini.
Adakalanya seseorang didatangi tamu yang kelaparan pada saat hawa dingin menggigit tulang, sementara saat itu dia tidak memiliki kekayaan apapun selain seekor unta yang menjadi penopang hidupnya. Namun rasa kedermawanan bisa menggetarkan hatinya, lalu dia bangkit dan menghampiri unta satu-satunya itu dan lalu menyembelihnya agar dia bisa menjamu tamunya tersebut. Pengaruh dari kedermawanannya ini, mereka bisa menanggung pembayaran denda yang jumlahnya sangat tinggi dan membuat mata terbelalak. Sehingga tidak jarang hal ini justru menumpahkan darah dan menyebabkan kematian pada orang.
Diantara pengaruh kedermawanan ini, mereka bisa merasa bangga karena minum khamar. Bukan karena meminumnya itu, tetapi karena hal itu dianggap sebagai salah satu cara untuk menunjukkan kedermawanan dan merupakan cara paling mudah untuk menunjukkan pemborosannya. Maka tidak heran mereka menyebut pohon anggur dengan nama al-karam (kedermawanan), sedangkan khamar yang dibuat dari buah anggur disebut bintul karam (Putri Kedermawanan).
Antarah bin Syaddad Al-Absyi melukiskan dalam syair-syairnya :
“Telah ku minum regukan-regukan arak
Setelah terlewati siang hari yang terik
Didalam gelas kaca berwarna kuning kemilu
Bertabur bunga-bunga indah yang memukau
Kehormatanku juga tidak ku hirau
Kurelakan harta kan musnah jika ku minum arak
Kehormatanku yang tinggi tiada kusimak
Jika tak mabuk tiada ku sia-siakan undangan
Karena ku tahu sifatku yang dermawan"
2) Memenuhi Janji
Dimata mereka, janji sama dengan hutang yang harus dibayar. Bahkan mereka lebih suka membunuh anaknya sendiri dan membakar rumahnya daripada memungkiri janji.
3) Kemuliaan jiwa dan keengganan menerima kehinaan dan kelaliman
Akibatnya, mereka bersikap berlebih-lebihan dalam masalah keberanian, sangat pencemburu dan cepat naik darah. Mereka tidak mau mendengarkan kata-kata yang menggambarkan kehinaan dan kemerosotan, melainkan mereka bangkit menghunus pedang, lalu pecahlah peperangan.
4) Pantang mundur
Jika meraka sudah mengingikan sesuatu yang disitu ada keluhuran dan kemuliaan, maka tak ada sesuatupun yang bisa menghadang atau mengalihkannya.
5) Kelemahlembutan dan suka menolong orang lain
Mereka biasa membuat sanjungan tentang sikap ini. Hanya saja sifat ini kurang tampak karena mereka berlebih-lebihan dalam masalah keberanian dan mudah terseret kepada peperangan.
6) Kesederhanaan pola kehidupan badui
Mereka tidak mau dilumuri warna-warni peradaban dan gemerlap harta. Hasilnya adalah kejujuran, dapat dipercaya, meninggalkan dusta dan pengkhianatan.
Mungkin dari sikap-sikap orang jahiliyah diatas, kita bisa meneladani dari yang segi positifnya. Dan kita tahu, bahwa sikap dari orang-orang jahiliyah tidak sepenuhnya yang buruk dan kotor, bahkan dari mereka masih ada yang berakhlak mulia, dan patut untuk kita teladani.
D F#m G A
mengapa di dunia ini
D F#m G A
selalu menertawai
Bm F#m G A
hidupku yang hina ini
Bm F#m G A
berteman dengan seorang gadis
mengapa semua manusia
menghina kehidupannya
mencari nafkah di dunia
sebagai seorang pramuria
{*}
Bm F#m
semuanya itu tiada arti bagiku
Bm F#m
kuanggap sbagai penguji imanku
Bm F#m
kiranya tuhan jadi saksi bagiku
G A
betapa sucinya janlinan cintaku
walaupun hinaan itu
ditujukan pada dirimu
namun ku slalu tersenyum
karna cintaku suci padanya
back to {*}
C Em F G
walaupun hinaan itu
C Em F G
ditujukan pada dirimu
Am Em F G
namun ku slalu tersenyum
Am Em F G
karna cintaku suci padanya